Mengapa Kali Ini AS tak Veto Gencatan Senjata Gaza?
Ditulis oleh Esthi Maharani
WASHINGTON -- Setidaknya sudah tiga kali, Amerika Serikat (AS) telah menggunakan hak vetonya untuk menjegal resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang bertujuan membawa gencatan senjata di Gaza, Palestina.
Hak veto itu pun akhirnya berhenti pada Senin (25/3/2024) ketika pemerintahan Presiden AS, Joe Biden memutuskan untuk tidak lagi menggunakan hak veto untuk resolusi gencatan senjata terbaru. AS abstain dalam pemungutan suara sehingga memungkinan resolusi DK PBB lolos dan gencatan senjata bisa segera diterapkan.
Resolusi Senin, yang diadopsi dalam pemungutan suara 14-0, menyerukan gencatan senjata "abadi" serta pembebasan tawanan Israel di Gaza dan gelombang bantuan kemanusiaan ke wilayah Palestina.
Mengapa setelah 6 bulan dan hampir 100 ribu warga Palestina syuhada, AS akhirnya hentikan rentetan hak veto di DK PBB?
Langkah AS itu dianggap sebagai tanda Biden yang frustasi dengan kepemimpinan PM Israel, Benjamin Netanyahu yang menekan kampanye militernya yang mematikan di Gaza.
Perubahan sikap AS di DK PBB cukup membuat Netanyahu marah. Ia mengecam AS karena gagal memblokir resolusi. Kantor pemerintahan Netanyahu mengeluarkan pernyataan yang menuduh Washington merugikan upaya perang Israel, menggarisbawahi meningkatnya ketegangan dengan Biden.
Meski tak lagi menggunakan hak veto, tetapi langkah AS untuk menghentikan gencatan senjata dianggap tidak cukup. Para pendukung hak-hak Palestina berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan adalah pemikiran ulang mendasar soal dukungan Washington untuk Israel – di luar simbolisme dan retorika.
"Itu (tidak menggunakan hak veto di DK PBB) nyatanya tidak menghentikan transfer senjata dilakukan. Pada akhirnya itulah yang benar-benar penting," kata Adam Shapiro, seorang analis politik.
Para advokat mengatakan pertanyaannya sekarang adalah apakah pemerintahan Biden akan menggunakan pengaruhnya untuk menekan Israel agar mengakhiri pelanggarannya terhadap warga Palestina di Gaza.
Para pejabat Biden telah mendesak pemerintah Israel untuk melindungi warga sipil dan mengizinkan lebih banyak bantuan ke Gaza, tetapi mereka sejauh ini menolak dan terus melanggar.
Tariq Kenney-Shawa, seorang rekan kebijakan AS di Al-Shabaka, sebuah think tank Palestina, mengatakan ujian sebenarnya untuk AS adalah apakah AS akan mengabulkan daftar permintaan senjata yang diajukan Israel.
Diketahui, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant sedang berkunjung ke Washington, DC, dan media AS dan Israel telah melaporkan bahwa ia akan meminta senjata khusus untuk melanjutkan genosida di Gaza.
"Kebijakan menyediakan semua senjata yang Israel dan Netanyahu butuhkan untuk melanjutkan serangan di Gaza. AS terus mengabulkan permintaan Israel tanpa gangguan sejak Oktober," kata Kenney-Shawa dalam email ke Aljazirah.
"Dalam banyak hal, saya melihat ini sebagai tarian. Pemerintahan Biden mengambil apa yang dilihatnya sebagai langkah-langkah publik yang diperlukan untuk membuatnya terlihat seperti mereka melakukan segala yang mereka bisa untuk menahan kaki Israel, padahal kenyataannya, mereka memfasilitasi dan memungkinkan Israel bertindak tanpa akhir. Israel belum menghadapi konsekuensi konkret dari AS atas kejahatan perang dan genosidanya."
Nancy Okail, presiden Center for International Policy, sebuah think tank yang berbasis di AS, mengatakan pemungutan suara Senin pada resolusi gencatan senjata adalah "signifikan" karena membawa kebijakan AS lebih dekat ke retorikanya untuk menghentikan perang dan datang melawan ancaman Netanyahu.
"Namun, ini masih sangat terlambat dan masih belum cukup," kata Okail kepada Aljazirah. "Ini juga perlu diikuti dengan langkah-langkah konkret untuk menunjukkan betapa seriusnya pemerintah AS tentang dukungan untuk gencatan senjata dan perdamaian abadi dan tentang memastikan bahwa bantuan kemanusiaan disampaikan secara memadai dan tepat waktu untuk rakyat Palestina. Dan itu berarti mengambil langkah-langkah untuk menilai apakah AS harus terus mengirim senjata ke Israel," katanya.